Sabtu, 22 Januari 2011

PENGARUH TEMPERATUR LINGKUNGAN TERHADAP RESPON KEKEBALAN AYAM RAS PEDAGING






TUGAS MATA KULIAH
PROBLEMA KHUSUS (IMUNITAS)
DOSEN PENGAMPU : PROF. DR. DRH. SOEDARSONO




PENGARUH TEMPERATUR LINGKUNGAN
TERHADAP RESPON KEKEBALAN
AYAM RAS PEDAGING






Oleh:
HARYONO, drh.
H4A007006


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU TERNAK
PROGRAM PASCA SARJANA-FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008






PENGARUH TEMPERATUR LINGKUNGAN
TERHADAP RESPON KEKEBALAN AYAM RAS PEDAGING



1. Temperatur Lingkungan dan Stres

Dalam pemeliharaan ayam broiler dengan sistem perkandangan terbuka, secara alami  akan terekspos oleh variasi stres lingkungan (kedinginan, kepanasan, kecepatan angin/aliran udara) dan stres sosial (kompetisi pakan, transportasi, kepadatan populasi ayam dalam kandang, dll).
Perkembangan ayam broiler di berbagai belahan dunia dihadapkan pada tingginya angka mortalitas dan rendahnya produktifitas karena pengaruh tingginya temperatur lingkungan pada musim panas. Pada kondisi ini secara nyata dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa stres  karena suhu lingkungan yang tinggi akan menekan respon kekabalan dalam memproduksi antibodi. Pengaruh suhu lingkungan yang tinggi ini juga berpengaruh pada hasil vaksinasi. Untuk itu vaksinasi pada peternakan unggas hendaknya dilakukan pada suhu yang moderat yaitu sekitar 18,3 – 32,3 oC, (Beard et al. 1987).
Stres dapat digambarkan sebagai suatu respon dari lingkungan luar yang diterima oleh kelompok ayam untuk adaptasi  pada situasi yang abnormal atau baru. Proses adaptasi ini meyebabkan pelepasan hormon dan memerlukan penggantian cadangan tubuh termasuk energi dan protein yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan, reproduksi  dan kesehatan dan dalam waktu yang lama unggas menjadi kelelahan dan lemah, sering menderita kelaparan dan  terserang penyakit infeksi.
Secara genetik ayam ras pedaging saat ini  mempunyai pertumbuhan yang cepat,  konversi pakan  lebih baik, dan menghasilkan bobot badan yang tinggi. Oleh karena itu perlu mengusahakan  manajemen dan  nutrisi yang baik karena ayam broiler tidak toleran terhadap masalah  manajemen dan penyakit.
Unggas yang mengalami stres, memerlukan energi dan nutrisi agar tetap hidup untuk pertumbuhan, imunitas, pertumbuhan bulu, dan reproduksinya. Selama periode pertumbuhan, unggas yang mengalami stres tidak mengalami pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan menjadi menurun.
Pada tahap awal, stres merangsang syaraf postganglionik dan jaringan medula dari kelenjar adrenal yang melepaskan catecholamin termasuk adrenalin dan noradrenalin. Dengan adanya catecholamin ini, unggas menyiapkan diri untuk melepaskan glukosa dengan cepat.  Pada tahap adaptasi ini rangsangan dari susunan pusat syarap otak  (hypothalamus) memerintahkan cortex adrenal untuk melepaskan hormon glucocorticoid yang dikenal sebagai corticosterone. Hormon ini bertanggung jawab untuk pembentukan glukosa dari cadangan karbohidrat, lemak dan protein. Pada akhirnya jika unggas tidak bisa mengendalikan stres dan ketersediaan cadangan energi tidak mencukupi, maka akan mengalami fase kelelahan, gangguan keseimbangan dan kematian.
Stres menyebabkan  respon antibodi dari vaksinasi menurun dan  meningkatkan kepekaan terhadap berbagai penyakit (Gross, 1985) Stres juga dapat menyebabkan perubahan jumlah leucocytes (heterophil/lymphocyte rations), dalam jangka pendek meningkatkan resistensi terhadap infeksi Escherichia coli (Gross, 1992). Stres dalam jangka waktu lama dapat  menurunkan feed intake, menurunkan jumlah lymphocyte dan atrophy organ lymphoid (Latshaw, 1990).
Pengaruh stress pada unggas adalah :
1.            Meningkatkan level hormon corticosterone, insulin atau glucagon
2.            Meningkatkan kecepatan metabolisme dan pengurasan energi
3.            Meningkatkan pemakaian glukosa sebagai sumber energi.
4.            Peningkatan pembebasan asam lemak dalam plasma
5.            Hypoglycemia (peningkatan pemanfaatan glukosa)
6.            Menurunkan pertumbuhan dan meningkatkan degradasi otot
7.            Melepaskan cytokines fase akut  (monokynes dan lymphokynes)
8.            Pertumbuhan tulang dan tulang rawan menjadi lemah
9.            Redistribusi trace mineral menjadi jelek
10.        Sintesis protein terhambat
11.        Menurunkan feed intake (anorexia)
12.        Meningkatkan temperatur tubuh
13.        Immunosuppression.


Yang bertindak sebagai pemicu stres diantaranya adalah :
1.            Pembatasan pakan (feed restriction)
2.            Temperatur lingkungan yang tinggi dan rendah
3.            Ketakutan dan frustasi
4.            Suara gaduh
5.            Transportasi
6.            Sebab perbedaan respon leukosit

Beberapa studi  menunjukkan bahwa temperatur lingkungan dapat mempengaruhi respon kekebalan unggas (Henken et al. 1982) Mekanisme mengenai  temperatur lingkungan dapat bertindak sebagai penekan kekebalan tidak diketahui sepenuhnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan pertimbangan bahwa peningkatan aktifitas kelenjar adrenal berkaitan dengan peningkatatan level serum corticosteroid penyebab stres,  yang  menekan faktor proliferasi sel atau interleukin II (Siegel et al. 1984).  Intensitas dan durasi stres yang diinduksi oleh temperatur  akan merusak sistem kekebalan unggas.
 Thaxton et al. (1968), temperatur lingkungan yang tinggi (44.4-47.8oC) mempengaruhi perkembangan respon imun spesifik unggas,  menekan sirkulasi sel darah putih (Nathan et al. 1976) dan meningkatkan rasio heterophil/lymphocyte (Mogement and Youbicier-Simo, 1998) serta menurunkan produksi antibodi unggas muda (Zulkifi et al. 2000). Konsentrasi corticosteron dalam darah digunakan untuk mengukur stres dan aktifitas fisiologis unggas.  Ketika corticosteron ditambahkan pada pakan dalam suatu percobaan ayam, sejumlah besar lymphocyte darah menurun dan sejumlah besar heterophil meningkat (Gross dan Siegel, 1983).
Bagaimanapun menentukan level corticosteroid atau rasio heterophil/lymphocyte tidak dapat selalu diterima sebagai suatu pengukuran yang akurat terhadap stres unggas. Metode yang lebih dapat dipercaya untuk pengkuran stres adalah sistem immune yang ditentukan oleh  jumlah dan proporsi leukosit, perbedaan fungsi immunological dan ukuran  organ lymphoid.
Corticosteroid pada unggas saat stres dapat menyebabkan penurunan bobot badan dan atrophy dari organ limpa, thymus  dan bursa fabrisius. (Gross dan Siegel, 1981); menurunkan respon antibodi (Gross et al. 1979), meningkatkan kepekaan terhadap coccidiosis dan produksi oocyst yang lebih tinggi (Long dan Ross, 1970); menurunkan level lymphokines (molekul biologi aktif yang dihasilkan oleh sel T-lymphocytes), Interferon (protein yang dikeluarkan oleh sel terinfeksi untuk menghambat replikasi virus), dan menurunkan jumlah sel T-lymphocytes (thymus, lymphocytes) dan natural killer sel (Isobe dan Lillehaj, 1992).  Produksi protein selama heat stress menurunkan aktifitas phagocytes  seperti produksi dari sebuah faktor tumoricidal oleh chicken macrophages.
Hangalapura (2006), menerangkan bahwa panas yang ekstrim atau dingin akan mempengaruhi performans unggas dengan mengurangi pertambahan bobot badan dan menurunkan produksi telur, juga meningkatkan kematian  dan peka terhadap penyakit.  Pengaruh stres jenis ini selama periode brooding akan mempengaruhi imunitas dan performans kelompok unggas.  Stres karena faktor iklim dapat juga mempengaruhi B-cell immunity (produksi antibodi) dan T-cell immunity.  Resistensi penyakit  seperti salmonellosis dan colibacillosis pada unggas  serta mycoplasmosis pada kalkun  adalah menurun oleh stres dingin. Pada percobaan telah menunjukkan bahwa tingkat kematian pada ayam yang diinfeksi dengan infectious bronchitis dan avian nephritis virus  akan meningkat oleh cold stress dan kekurangan energi dan protien dalam jumlah banyak.
Dibawah kondisi normal, mikroflora usus dapat mencegah translokasi bakteri patogenik pada aliran darah  dan hati dengan syarat mucosa usus tetap baik. Dan ketika pelindung ini dirusak oleh stres, terjadi invasi ke aliran darah (bakterimia), rangsangan sistem immun  dan kematian  terjadi pada ayam yang terinfeksi oleh   Escherichia coli
Pengaruh Heat stress pada flock unggas  akan menurunkan feed intake, untuk meminimalkan sejumlah besar panas dari proses pencernaan dan energi metabolis. Unggas akan mnurunkan konsumsi pakan  10-20% pada musim panas dibandingkan musim penghujan.
Hewan yang terpapar penyakit infeksi pada umumnya akan menjadi stres, apalagi didukung dengan kurangnya biosekuriti dan sanitasi di lingkungan kandang.
Unggas yang terekspos oleh temperatur yang tinggi akan menjadi stres. Stres akan menurunkan humoral dan cellmediated immunity, serta resistensi terhadap penyakit infeksi.(Dabbert et al. 1997)


2. Heat Production (HP) dan Heat Lost (HL)

Unggas termasuk   hewan berdarah panas.  Burung/unggas seperti juga mamalia adalah tergolong homeothermis yaitu dapat  mengatur suhu tubuhnya relatif konstan terhadap perubahan kondisi lingkungan agar dapat melaksanakan fungsi fisiologis secara normal. Temperatur organ vital seperti sistem syaraf pusat, hati, jantung, viscera, dan lain-lain cenderung konstan dan  dapat dikontrol dengan baik. Terdapat fenomena, jumlah panas yang dihasilkan oleh aktivitas otot dan metabolisme jaringan/”heat prouction”(HP) sebanding dengan jumlah panas yang hilang/”heat loss” (HL), maka bilamana HP melebihi HL temperatur tubuh akan naik, sedangkan bila melebihi HP, suhu tubuh akan turun.  Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi keseimbangan panas (”heat balance”) adalah temperatur.  Secara teoritis dikenal adanya ”zona thermoneutral” yaitu suatu kisaran temperatur lingkungan dimana pada kisaran ini tidak ada /sedikit sekali terjadi perubahan pada HP, sehingga cenderung HP = HL.  Berdasarkan penelitian ”zone thermoneutral” bervariasi tergantung pada faktor umur, status gizi pakan, status fisiologis, ayam dan lainnya. Kalau usaha menaikkan HP tidak mampu melampaui HL, maka temperatur tubuh akan naik, peristiwa ini disebut ”hyperthermia”.
            Sumber utama untuk meningkatkan HP adalah pakan, oleh karena itu aya yang dipelihara pada lingkungan yang bertemperatur rendah , cenderung lebih banyak makan dibanding yang bertemperatur tinggi.  Reaksi ayam kalaui dipelihara dibawah ”lower critical point” akan berusaha meningatkan HP dengan cara menggigil (shievering), kalau usaha untuk  menaikkan HP tidak mampu melampaui HL, maka temperatur tubuh akan turun.
            Ada dua jeni panas yang hilang karena pengaruh lingkungan yaitu :
1. Sensible heat loss yaitu panas yang hilag dari tubuh karena :
a)      Radiasi  : panas hilang karena temperatur permukaan tubuh lebi tinggi dari temperatur lingkungan.
b)      Konduksi : perpindahan panassecara langsung dari permukaan tubuh ke uara sekelilingnya melalui suatu konduktor
c)      Konveksi  : panas yang  keluar dari permukaan tubuh karena bersinggungan dengan udara lingkungan yang bergerak.
2. Insensible heat loss / evaporative heat loss yaitu panas tubuh yang dikeluarkan selama peristiwa panting, karena ayam tidak mempunyai kelenjar keringat.

Faktor penyebab cekaman pada unggas terbagi menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal antara lain meliputi program pencahayaan, kelaparan, kehausan, kandang kotor dan buruknya ventilasi, kandang terlampau padat, pindah kandang, ventilasi, pergantian pakan, tindakan potong paruh yang kasar dan juga perubahan cuaca yang mendadak.  Sedangkan faktor internal meliputi sistim syaraf, sistem indera dan sistem hormonal.
Pada prinsipnya, berbagai faktor eksternal tersebut merupakan tekanan yang menyebabkan terlepasnya radikal bebas dalam tubuh, sehingga keseimbangan elektrolit terganggu.  Radikal bebas adalah  molekul atau senyawa yang dapat berdiri sendiri, mempunyai elektron tidak berpasangan dan berat molekulnya rendah.  Berat molekul rendah menyebabkan radikal bebas sangat sensitif. Hal ini memungkinkan unsur radika bebas menyusup ke tempat-tempat yang ikatan elektronnya kuat. Sebagian elektron kuat berpotensi mengganggu, tetapi sebagian yang lain penting untuk reaksi metabolisme sel, fungsi fagositik sel dan transduksi sinyal senyawa pengoksidasi yang bersifat reaktif, dapat merusak sel-sel tubuh.  Lepasnya radikal bebas pada tubuh unggas, terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan hormonal dalam tubuh sehingga fungsi organ terganggu. Akhir dari proses tersebut daya tahan tubuh  menurun, pembentukan antibodi terganggu dan unggas lebih peka terhadap serangan aneka penyakit.
Cekaman melibatkan pertukaran panas antara unggas dengan lingkungan, yang dalam prosesnya terdapat mekanisme produksi panas, penyesuaian sistem cairan tubuh, hormon, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan pada keadaan tercekam dan kebutuhan pakan ternak sedang tercekam.
Unggas yang tercekam ditandai dengan beberapa ketidaknormalan kondisi fisik maupun tingkah laku seperti pial kebiruan, telur benjol, kulit telur tipis, lesu, gelisah, nafsu makan berkurang, terengah-engah (panting), bersuara keras terus-menerus, panas tubuh naik/turun, minum terlampau banya, saling mematuk dan berkelahi.
Perubahan iklim yang ekstrim dapat menyebabkan fluktuasi yang luas pada penampilan unggas.  Sebagai ternak homeothermis unggas berusaha mempertahankan suhu tubuh sekitar 41.5oC sebagai suhu thermonetral.  Suhu tubuh unggas biasanya lebih tinggi daripada suhu sekitarnya, sehingga panas akan terus menerus hilang melalui empat macam mekanisme yaitu : konveksi, konduksi, radiasi dan evaporasi.  Selanjutnya konveksi, konduksi dan radiasi diartikan kehilangan panas yang wajar, sedangkan evaporasi diartikan kehilangan panas yang tidak wajar.
Kemampuan mengubah kehilangan panas yang dimiliki unggas untuk mengontrol   suhu tubuhnya.  Unggas yang kepanasan akan mengalirkan aliran darah ke jengger dan pial di kepala dan juga meningkatkan aliran darah ke kaki. Unggas akan membuat perubahan  posisi seperti istirahat dengan sayap mengembang dan kaki terbentang menjauhi badan (stretching) untuk meningkatkan konveksi hilangnya panas.  Unggas dalam sebuah kelompok akan berpencar untuk berusaha meningkatkan aliran udara di sekitar mereka dan untuk mengurangi pertambahan panas konduksi dan panas radiasi dari unggas yang lain. 
Unggas yang kedinginan akan mengurangi aliran darah ke kaki dengan cara berkerumun bersama, menghindari aliran udara dan berkumpul di sumber panas radiatif misalnya lampu brooder.  Unggas tidak mempunyai kelenjar keringat dan satu-satunya cara adalah penguapan air melalui paru-paru dengan cara panting (terengah-engah).
Panting berkepanjangan dapat mengakibatkan dehidrasi, keseimbangan elektrolit asam dan basa dalam tubuh terganggu serta terganggunya proses metabolisme terutama pada pencernaan nutrisi.

3.  Standar Fisiologis
Aspek lain kondisi nyaman bagi unggas dapat ditunjukkan dari standar fisiologis normalnya yaitu; suhu tubuh ayam dewasa sekitar 41,49oC; angka respirasi 20-30 kali/menit; jumlah darah sekitar 7% berat badan; tekanan darah 150-190 mmHg, jumlah leukosit disominasi oleh limfosit berjumlah 40.000-80.000/mm3. Denyut jantung ayam dewasa 250-350/menit, sedangkan day old chick 300-560/menit.  Kadar glukosa plasma day old chick 235 mg/100 ml, sedangkan ayam berumur 2-5 bulan 242/100 ml.  Jumlah eritrosit ayam betina 2,72 juta – 3 juta / mm3, sedangkan ayam jantan 3,24 juta – 3,8 juta/mm3

4.  Problem Perunggasan di Daerah Tropis
Kondisi daerah tropis termasuk Indonesia dikenal memiliki temperatur dan kelembaban tinggi (lebih 24oC dan 40%), yang kondisi tersebut sering menimbulkan cekaman pada unggas yang pada akhirnya berakibat turunnya produksi.  Problem utama daerah tropis yang sering dijumpai adalah tingginya angka mortalitas (diatas 10%).  Disamping hal tersebut juga sulitnya menghasilkan performans (bobot badan, berat daging, produksi telur, konversi ransum) yang sesuai dengan standart potensi genetik.  North (1984), menyatakan bahwa setiap kenaikan temperatur kandang 3oC akan secara nyata mempengaruhi performans unggas yang dipelihara.
Sehubungan dengan tingginya temperatur dan kelembaban di daerah tropis perlu diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain : umur unggas (bobot badan), panjang waktu terpaan panas, suhu air minum, sirkulasi udara, besarnya radiasi maupun kepadatan unggas per m2.  Secara fisiologis sebenarnya unggas senantiasa berupaya untuk mempertahankan suhu tubuhnya melalui : evaporasi (pernafasan dan panting), konduksi (mengurangi aktifitas, mencari tempat dingin), konveksi (menjauhkan sayap dari tubuh), radiasi (lewat pembuluh darah perifer), minum lebih banyak, ekskresi (kadang-kadang diare).  Lebih lanjut efek suhu tinggi akan semakin besar apabila diikuti dengan kelembaban yang tinggi.
Kombinasi suhu dan kelembaban serta kombinasi faktor-faktor tersebut mengakibatkan kenaikan suhu tubuh unggas.  Kondisi ini merupakan cekaman. Pada suhu lingungan 37oC dan kelembaban 55%, maka suhu tubuh unggas meningkat menjadi 45oC, sedangkan pada suhu ambien yang sama dengan kelembaban 75% maka suhu tubuh ungas menjadi 47oC dan dapat menyebabkan kematian.  Kasus kematian ayam pada industri perunggasan di Indonesia yang berhubungan dengan suhu dan kelembaban adalah heat stress syndrome.  Heat stress syndrome lazim terjadi pada waktu dini hari saat udara dingin ataupun siang hari saat terik matahari, bahkan sering dijumpai kematian ayam mendadak.  Hal ini dapat dimegerti karena pada udara dingin unggas akan menguras energi dalam rangka memprtahankan suhu tubuhnya,  semetara pada udara panas proses metabolisme pakan akan melepaskan panas yang harus dilepaskan melalui proses evaporasi (penguapan melalui udara pernafasan) bahkan mengalami panting( megap-megap).
Cekaman akan menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh.  Kekebalan tubuh yang rendah akan sangat mudah terinfeksi virus.  Virus yang ada pada saluran pencernaan ini hanya menyebabkan hipoglisemia ringan dan immunosupresi. Kondisi ini semakin parah pada saat unggas lepas indukan atau divaksin IBD.  Hal ini ditunjukkan dengan munculnya gejala tremor, yang ada kalanya  diikuti dengan kematian tiba-tiba (James dan Thomas, 1996).

 5.  Respon Kekebalan Unggas
Sharna (1991) menerangkan bahwa, sistem kekebalan pada unggas (avian immune system) pada prinsipnya adalah sama dengan sistem kekebalan pada mammalia dalam hubungan selular diantara macrophage dan lymphocytes dan hubungan antara sel-B dan sel-T.  T-lymphocytes adalah  komponen kekebalan seluler sedangkan B-lymphocytes adalah komponen kekebalan humoral (Toivanen & Toivanen 1987)
Seperti virus lainnya, Newcastle Disease Virus (NDV) dapat menginduksi cell-mediated immunity, humoral immunity, local immunity dan passive immunity. Penyakit immunosupressive dapat mempengaruhi respon kekebalan, seperti pengaruh  infeksi NDV, alamiah lainnya atau oleh pengaruh vaksin. (Alexander 1991; Sharna 1991)
Passive Immunity (kekebalan pasif) adalah transfer maternal antibody dari induk ke anak-anak keturunannya dan yang terpenting adalah untuk memberi proteksi awal pada anak-anaknya (Alexander 1991). Passive immunity bisa mengganggu respon kekebalan dari vaksinasi ketika digunakan vaksin hidup (live vaccines). Passive immunity menyebabkan timbulnya immunoglobulin tipe G (IgG) tetapi tidak Immunoglobullin tipe A (IgA) atau Immunoglobullin tipe M (IgM). (Darbyshire 1987; Alexander 1991). Induk Ayam dengan antibodi NDV diturunkan pada turunannya melalui kuning telur dan antibodi tersebut akan bertahan sampai  4,5 hari setelah penetasan, dengan uji HI. (Alexander 1991).
Cell Mediated Immunity (CMI) adalah sistem kekebalan (antibodi yang independent), dibawah kontrol thymus (Schultz 1982; Toivane &Toivane 1987). CMI memberikan respon kekebalan awal saat infeksi, dan dapat dideteksi lebih awal pada 2-3 hari setelah vaksinasi dengan live vaccines (Ghuman & Bankowski 1975; Timms & Alexander 1977; Agraval & Reynolds 1991; Jayawardane & Spradbrow 1955a).
Pada kasus infeksi NDV, sel-sel infeksi dapat dihancurkan oleh kepekaan lymphocytes ketika mereka mengenal antigen-antigen  virus pada permukaan reseptor sel dimana replikasi NDV terjadi. Antigen NDV dapat dilarutkan oleh induksi dari kepekaan lymphocyte yang melepaskan lymphokin sehingga dapat mempermudah membentuk respon kekebalan lokal (local immune response) dan respon kekebalan humoral (humoral immune response), (Timms & Alexander 1977; Russel 1993; Schat 1991; Slauson & Cooper 1984).
Local Immunity  (kekebalan lokal) adalah bagian integral dari total immunity, dimana CMI dan factor-faktor humoral lainnya adalah adalah proteksi dini.  Lokal immunity tidak hanya menyebabkan IgA (Timms & Alexander 1977; Russel 1993; Alexander 1991; Baba, Kawata, Masumoto & Kajikawa 1990; Russell & Kock 1993) tetapi juga mensintesis IgG dan IgM dalam glandula Harderian ( Russel 1993; Russell & Kock 1993). IgA adalah bersatu dengan sekresi permukaan mukosa. IgA bersatu dengan mukosa tractus respiratorius bagian atas (Aitaken & Parry 1976), tractus intestinalis (Zigterman, Van de Van, Van Geffen, Loeffen, Panhujizen, Rijke & Vermeulen 1993) dan glandula Harderian (Russel & Kock 1993)
Mekanisme induksi kekebalan lokal adalah tidak diketahui (Alexander 1991). Bagaimanapun, fakta yang kuat menunjukkan bahwa mekanisme kekebalan lokal ini berkorelasi lebih baik dengan respon kekebalan humoral terhadap pertahanan pada infeksi.
Pada infeksi NDV, kekebalan lokal diinduksi secara alami atau dengan vaksin NDV aktif yang tergabung dalam  strain lentogenic atau apathogenic (Russell 1993; Russell & Koch 1993; Jayawrdane & Spradbrow 1995b)
Humoral Immunity (Kekebalan Humoral) merupakan  pertahanan menengah (resistance mediated) oleh sistem kekebalan seluler, yaitu (B-lymphocyte) dibawah kontrol bursa fabrisius. B-lymphocyte diaktifkan menjadi sel plasma (plasma cells) dan disekresikan dalam darah dan derivatnya dengan menghasilkan immunoglobulin IgM dan IgG (Tizzard 1982; Spradbrow & Samuel 1991). IgM dan IgG tersusun  dalam proses perkembangan respon kekebalan humoral (Daryshire 1987)
Metoda untuk mengukur dan deteksi respon kekebalan humoral (Tizzard 1982; Bead 1989; Alexander 1991) yaitu virus neutralization test (VN), plaque neutralization, single radial immunodiffusion, single radial hemolysis, agar gel precipitation dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Respon VN adalah sama  dengan respon HI, dan digunakan sebagai uji standart untuk mengukur respon kekebalan humoral yang diinduksi oleh strain NDV, (Snyder et al. 1983; Miers et al. 1983; Adair et al. 1989; Alexander 1991). Bagaimanapun komersial kits ELISA-NDV terus dikebangkan dan membuat uji ini lebih popular daripada uji konvensional yang lain untuk monitoring banyak penyakit unggas termasuk NDV.
Immunosupression. Tizzard (1982), Alexander (1991) dan Sharna (1991) menerangkan bahwa beberapa agent (penyakit) seperti infectious bursal disease virus (IBD), chicken anemia virus (CAV) dan lymphoid leucosis virus, termasuk immunosupession. Mekanisme immunosupression pada unggas tidak dimengerti dengan baik.  Immunosuppression menyebabkan kekacauan kontrol mekanisme  immune system (Biggs et al. 1988, Alexander 1991, dan Sharna 1991).  Immunodeficiency dapat  menerangkan  lebih jelas terhadap    wabah penyakit dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh strains NDV dan hancurnya respon vaksinasi dengan vaksin NDV (Alexander 1991). 



DAFTAR PUSTAKA



Beard, C.W., Mitchell, B.W. 1987. Infuence of environmental temperature on the serologic responses of broiler chickens to inactivated and viable Newcastle Disease vaccine. American Association of Avian Pathologists.Inc. Avian Disease vol.31, No.2.

Dabbert,C.B., Lochmiller, R.L., Teeter, G. 1997. Effects of acute thermal stress on the immune system of the northern bobwhite. The Auk 114(1):103-109

Darbyshire, J.H. 1987. Immunity and resistence in respiratory tract disease in Avian Immunology: basis and practice volume II edited by Toivanen,A. & Toivanen,P. Florida. USA. CRC Press: 129-141.

Gross, W.B. Siegel, P.B. 1981. Long-therm exposure of chickens to three levels of social stress. Avian Dis. 25:312-325.

Gross, W.B., 1985. Effect of stress on poultry. Poultry Digest 45 (2):58.

Gross, W.B., Siegel,H.S. 1983. Evaluation of the heterophil/lymphocyte ratio as a measure of stress in chicken. Avian Diseases vol, 27 No.4.

Gross, W.B., Siegel, P.B., Dubois, R.T. 1979. Some effect  of feeding corticosterone to chickens Poultry Sci. 59:516-522.

Henken, A. M., Groote Schaarsberg, A.M.J., Nieuwland, M.G.B. 1982. The effect of  environmental temperature on immne response and metabolism of the young chicken. Poult. Sci. 62: 51-58.

Hangalapura, B.N. 2006. Cold stress and immunity: Do chickens adapt to cold by trading-off  immunity for thermoregulation. Wageningen Institut of Animal Science. Netherland. Thesis-PhD

Isobe, T., Lillehej, H.S.1992. Effect of corticosteroid on lymphocyte subpopulations and lymphokine secretion in chicken. Avian Dis. 36:590-596.

Latshaw, J.D.,1990. Mechanisme of immunosuppresion. Page 25 in: Proc. 41st. Nort Central Dis. Conf and Poultry immunosuppressive Dis Symposium, Columbus, OH.

Mogement, L.Y., Youicier-Simo, B.J. 1998. Determinaton  of reliable biochemical parameter of heat stress, and  application to the evaluation of medications : example of erythromycin E. pages 538-541 in Proceeding of 10th Eoropean Poultry Conference, Jerusalem, Israel.

Nathan, D.B., Heller, E.D., Perek,M. 1976. The effect of short heat stress upon leucocyte count, plasma corticosterone level, plasma and leucocyte ascorbic acid content. Br. Poult. Sci. 17:481-485

Russell,P.H. 1993. Newcastle disease virus: virus replication in the Harderian gland stimulates lachrymal IgA, the yolk sac provides early lachrymal IgG. Veterinary Immunology and Immunopathology, 37:151-163.

Russell, P.H. & Koch,G. 1993. Local antibody forming cells responses to the Hitchner B1 and Ulster Strains of Newcastle disease virus. Veteriary Immunology and Immunopathology, 37:165-180.

Siegel, H.S.,  Latimer, J.W.1984.  Interaction  of high temperature and Salmonella pullorum antigen concentration on serum agglutinin and corticosteroid responses in White Rock Chicken. Poult. Sci. 63:2483-2491.

Sharna, J.M. 1991. Overview of the avian immune system.  Veterinary Immunology and Immunopathologi, 30:13-17.

Thaxton, P., Sadler, C.R.,Glick,B., 1968. Immune response of chicken following het exposure or injection with ACTH. Poult. Sci. 47:264-266.

Toivanen, A. & Toivanen, P. (Eds). 1987. Stem cells of the lymphoid system in Avian Immunology: Basis and Practice edited by Toivanen, A, & Toivanen,P. Florida. USA.CRC:23-38

Zulkifi, I., Norma, M.T., Israf, D.A., Omar, A.R. 2000. The effect o early feed restriction on subsequent response to high enfironmental temperatures in female broiler chickens. Poult.Sci. 79:1401-1407.